Layla Almasri, pelari asal Palestina yang lahir di Amerika Serikat, menyadari betapa berat tanggung jawab yang dipikulnya dan timnya di Olimpiade Paris 2024. Baginya, partisipasi di ajang olahraga terbesar di dunia ini lebih dari sekadar berkompetisi.
“Saya pikir saya dapat berbicara mewakili kami berdelapan di sini di Olimpiade,” kata Layla Almasri setelah berkompetisi dalam lari 800 meter pada Jumat, 2 Agustus 2024 kepada AFP. “Kami jelas diplomat bagi rakyat kami dan juga atlet.”
Setiap kali dia menyalakan TV atau melihat ponselnya, Almasri disuguhi gambar-gambar orang-orang yang berjuang di Gaza yang terkepung selama pembantaian Israel. “Setiap saat, ini sangat sulit untuk melihatnya,” kata Almasri.
“Ibu-ibu dengan wajah ibu saya di wajah mereka. Anak-anak yang mirip saya saat saya masih kecil. Sungguh menyayat hati. Dan rasanya seperti saya baru saja disambar petir, keberuntungan, karena bisa tinggal di tempat yang tidak mengharuskan saya menghadapi hal-hal yang mereka hadapi,” ungkap Almasri.
Meskipun Almasri finish terakhir di babak penyisihan dan ke-48 dari 49 pelari di babak penyisihan 800 meter — di depan seorang pesaing dari Kosovo, dia merasa momen tersebut sangat berharga. “Saya bahkan tidak melihat jam,” katanya.
Ia mengaku hanya menikmati momen itu. “Penonton adalah fokus utama saya. Dan, tentu saja, mendapatkan pemandangan terbaik di rumah saat menonton balapan lari itu. Tepat di lintasan,” sambungnya.
Darah Palestina Mengalir dalam Dirinya
Setelah ayahnya meninggalkan Nablus ke AS, Almasri lahir dan dibesarkan di Colorado Springs, Colorado. Tahun lalu, ia meraih gelar master dalam promosi kesehatan dari Universitas Colorado, tempat ia sekarang menjadi asisten pelatih untuk tim lintas alam putri.
Ia tumbuh besar dengan menyantap makanan Palestina dan selalu merasa terhubung dengan tanah air ayahnya. Itu ada dalam darah dan hati saya, kata Almasri, yang memenangkan medali perunggu pada nomor lari 1.500 meter di kejuaraan atletik Arab tahun lalu.
Almasri pertama kali mengunjungi Nablus dua tahun lalu. “Tempat itu indah. Itu seperti rumah. Semua sepupu, bibi, dan paman saya ada di sana. Jadi, saya langsung merasa cocok,” sebutnya.
Presiden Komite Olimpiade Palestina, Jibril Rajoub, mengatakan sekitar 400 atlet dari berbagai tingkatan diperkirakan telah meninggal sejak Oktober. Mungkin atlet Palestina paling terkemuka yang tewas dalam perang itu adalah pelari jarak jauh Majed Abu Maraheel, yang pada 1996 di Atlanta, menjadi orang Palestina pertama yang berkompetisi di Olimpiade.
Atlet Palestina Banyak yang Terbunuh
Atlet tersebut meninggal karena gagal ginjal awal tahun ini setelah tidak dapat dirawat di Gaza, menurut pejabat Palestina. Israel tidak mengizinkannya seperti banyak orang lainnya untuk dievakuasi ke Mesir meskipun infrastruktur kesehatan memburuk.
Kemampuan perawatan kesehatan menurun di daerah kantong yang dikepung itu, yang telah sangat kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. “Kami memiliki seorang pria yang ikut berlomba dengan saya tahun lalu yang terjebak di Gaza,” kata Almasri dengan menambahkan bahwa atlet tersebut sangat berbakat, dan ia masih di Gaza.
Perhatian terhadap tim Palestina sangat besar di dalam perkampungan atlet. Semua orang menginginkan pin. “Kami terus-menerus dihentikan untuk berfoto di ruang makan,” kata Almasri.
Ia merasa sangat luar biasa melihat banyak orang yang benar-benar terkejut melihat para atlet dan senang melihat mereka. “Tidak ada keamanan tambahan untuk warga Palestina. Untungnya, kami tidak membutuhkannya, dan kami tidak memilikinya,” kata Almasri smabil berujar bahwa para atlet Palestina merasa beruntung karena memiliki lingkungan yang positif.
Dengan semangat yang membara dan misi diplomatiknya, Layla Almasri tidak hanya berlari untuk medali. Ia ada untuk membawa pesan harapan dan solidaritas bagi rakyat Palestina di seluruh dunia.
Atlet Palestina di Olimpiade Paris 2024
Olimpiade Paris 2024 bukan hanya arena olahraga bagi atlet Palestina. Di tengah tragedi perang yang merenggut ribuan nyawa di Gaza, mereka berjuang untuk mewakili identitas dan ketabahan rakyat Palestina.
Dari delapan atlet Palestina yang berpartisipasi, sebagian besar lahir di luar negeri, seperti Arab Saudi, Dubai, Jerman, Chili, dan Amerika Serikat, namun mereka tetap terikat erat dengan tanah air mereka. Yazan Al Bawwab, perenang berusia 24 tahun yang lahir di Arab Saudi dan tinggal di Dubai, menyatakan bahwa baginya, renang adalah cara untuk membanggakan Palestina, dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa, 23 Juli 2024.
Ia mengakui perjuangan Palestina jarang mendapat sorotan. Tetapi ia tetap teguh dalam mengibarkan bendera Palestina di panggung internasional.
Omar Ismail, atlet taekwondo berusia 18 tahun yang lahir di Dubai dari orang tua yang berasal dari Jenin, pun membawa semangat perjuangan Palestina di arena olahraga. Ia berharap untuk menginspirasi anak-anak Palestina dan menunjukkan kepada mereka bahwa mereka dapat mencapai mimpi mereka.
Perang di Gaza telah menghancurkan infrastruktur olahraga dan menjadikan proses latihan atlet hampir mustahil. Nader Jayousi, Direktur Teknis Komite Olimpiade Palestina, menyatakan bahwa tidak ada kolam renang yang layak di Palestina, dan sumber daya untuk pengembangan atlet elit sangat terbatas.