Gelombang serangan udara Israel pada Senin (23/9/2024) menewaskan sedikitnya 274 orang, termasuk 21 anak-anak, di Lebanon selatan dan timur dan menyebabkan ribuan warga Lebanon mengungsi ke utara untuk mencari tempat yang aman.
Puluhan ribu orang di seluruh negeri dihubungi oleh Israel melalui telepon dan diperintahkan untuk meninggalkan rumah mereka saat militer Israel meningkatkan serangannya terhadap Lebanon dan Hizbullah.
Lebih dari 1.024 orang terluka, kata Kementerian Kesehatan Lebanon, seraya menambahkan bahwa dua petugas tanggap darurat dan 39 wanita termasuk di antara yang tewas.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan akan ada hari-hari yang “rumit” ke depan dan dia berusaha untuk “mengubah keseimbangan kekuatan”.
Sumber keamanan Lebanon percaya bahwa situasi kemungkinan akan meningkat dalam beberapa hari mendatang, namun militer dan dinas keamanan lainnya tidak memperkirakan invasi darat Israel, meskipun ada pengerahan pasukan di dekat perbatasan.
“Israel tahu bahwa jika menyusup ke Lebanon, tentara Lebanon dan Hizbullah akan memiliki keunggulan militer di lapangan,” kata seorang sumber kepada Middle East Eye (MEE).
“Jika tentara Israel melakukan invasi darat, tentara Lebanon akan berpartisipasi dengan Hizbullah dalam menghadapi dan mempertahankan diri.”
Seorang sumber yang dekat dengan Hizbullah meyakini serangan Israel ditujukan untuk menggusur penduduk Lebanon selatan sebagai balasan atas serangan kelompok tersebut terhadap Israel utara yang telah memaksa evakuasi di sana.
Selama akhir pekan, seorang menteri Israel menyerukan agar “penduduk musuh syiah” di Lebanon selatan diusir dan zona penyangga dibuat di perbatasan.
Kementerian Dalam Negeri Lebanon mengatakan telah membuka sekolah-sekolah di Beirut, Tripoli, dan bagian timur dan selatan negara itu sebagai tempat perlindungan di tengah “pengungsian besar-besaran”.
Saling Balas
Pasukan Israel tidak pernah menyerbu Lebanon sejak negara itu berperang selama sebulan dengan Hizbullah pada tahun 2006, yang secara luas dianggap sebagai kekalahan strategis bagi Israel. Sejak saat itu, Hizbullah telah tumbuh dalam kekuatan, ukuran, dan pengalaman.
Ketika ditanya tentang kemungkinan invasi darat, juru bicara militer Israel Daniel Hagari menuturkan, “Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan”.
Sumber yang dekat dengan Hizbullah mengungkapkan kepada MEE bahwa jelas Israel berusaha untuk memperluas konflik ke tingkat yang paling luas tanpa memprovokasi perang dalam skala tahun 2006.
“Belum jelas apakah Israel ingin memperluas operasi ke Beirut karena mereka tahu bahwa ini akan menjadikan Haifa dan Tel Aviv sebagai target,” ungkap sumber itu.
Hizbullah menanggapi serangan hari Senin dengan menargetkan posisi militer di Israel utara.
Gerakan, yang lahir dari perlawanan terhadap pendudukan Israel di Lebanon selatan tahun 1982-2000, menyebutkan bahwa mereka tidak menginginkan perang skala besar dengan Israel dan berjuang dalam solidaritas dengan warga Palestina yang diserang di Jalur Gaza.
Sumber yang dekat dengan Hizbullah mengatakan kelompok itu akan mempertahankan strateginya untuk menanggapi serangan Israel dengan cara yang sama, dengan menjelaskan bahwa eskalasi mereka akan sesuai dengan tingkat eskalasi Israel.
Namun, dia menggarisbawahi, Hizbullah telah menunjukkan tingkat fleksibilitas. Hizbullah telah lama menyatakan bahwa konfliknya saat ini dengan Israel, yang dimulai ketika perang di Jalur Gaza pecah pada 7 Oktober 2023 akan berakhir ketika Hamas dan pemerintah Israel mencapai gencatan senjata.
Baru-baru ini, Hizbullah menyatakan pihaknya siap untuk menghentikan permusuhan jika serangan di Jalur Gaza berakhir tanpa gencatan senjata jangka panjang yang disepakati.