Adalah Hassan Hamad, seorang jurnalis Palestina berusia 19 tahun yang meninggal dunia akibat serangan udara Israel di Gaza pada Minggu, 6 Oktober 2024. Ini terjadi beberapa minggu setelah menerima “pesan-pesan mengancam” dari seorang perwira Israel.
Melanir TRT World, Selasa, 8 Oktober 2024, rumah Hamad jadi sasaran selama pemboman besar-besaran Israel di kamp pengungsi Jabalia. Serangan darat ketiga di kamp padat penduduk itu telah menewaskan sedikitnya 17 orang sejak 7 Oktober 2023.
Rekan-rekan Hamad menyatakan bahwa rumahnya sengaja jadi sasaran setelah ia menerima ancaman di WhatsApp-nya. Jurnalis lain, Maha Hussaini membagikan tangkapan layar pesan-pesan yang diterima Hamad beberapa hari sebelum ia terbunuh.
“Dengar, jika Anda terus menyebarkan kebohongan tentang Israel, kami akan mendatangi Anda selanjutnya dan mengubah keluarga Anda menjadi […] Ini peringatan terakhir untuk Anda,” bunyi salah satu tangkapan layar yang dilaporkan dibagikan Hamad pada Hussaini.
Rekannya melaporkan bahwa Hamad menolak memenuhi panggilan berulang dari petugas Israel yang memerintahkannya berhenti merekam situasi di Gaza. “Pukul 6 pagi, dia menelepon saya untuk mengirim video terakhirnya. Setelah panggilan yang berlangsung tidak lebih dari beberapa detik, dia berkata, ‘Itu mereka, itu mereka, selesai sudah,’ dan menutup telepon,” tulis temannya dalam sebuah uggahan di X, dulunya Twitter.
Mohammed Hamad, saudara jurnalis yang terbunuh itu, mengatakan bahwa ia hanya bisa mengenali Hassan dari rambutnya, karena sangat sedikit yang tersisa dari tubuhnya setelah serangan itu. “Inilah yang tersisa dari tubuhnya,” unggah rekannya yang lain.
Video Terakhir Hamad
Rekan Hamad membagikan sebuah video memperlihatkan jasad seorang pria terlihat membawa kantong plastik dan rompi pers. Beberapa laporan menyatakan bahwa tubuhnya ditemukan dalam keadaan terpotong-potong dan harus dikumpulkan.
Sebelum penyerangan, Hamad sengaja menjauhkan diri dari keluarganya untuk menghindari menempatkan mereka dalam risiko, menurut sebuah unggahan yang dibagikan temannya di X. “Dia menahan rasa sakit akibat cedera di kakinya, tapi tetap melanjutkan pengambilan gambar. Pada pukul 6 pagi, dia menelepon saya untuk mengirimkan video terakhirnya,” tulinya.
Di salah satu unggahan terakhirnya, Hamad melaporkan sebuah pengeboman di kamp Jabalia yang menewaskan enam orang, termasuk seorang pria yang baru menikah seminggu lalu. Hamad adalah jurnalis Palestina ke-175 yang tewas dalam setahun, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza.
Beberapa contoh berulang tentang penargetan jurnalis yang disengaja oleh militer Israel telah jadi bagian dari pengaduan yang diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) oleh Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), menurut situs web IFJ. Genosida Israel di Gaza telah menewaskan hampir 42 ribu warga Palestina, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 97 ribu lainnya terluka.
Kisah dari Jurnalis Lain di Gaza
Bulan lalu, Bisan Owda memenangkan Emmy Award 2024 atas karya jurnalistiknya, “It’s Bisan from Gaza and I’m Still Alive.” Jurnalis perempuan asal Gaza itu memenangkan penghargaan di kategori Outstanding Hard News Feature: Short Form.
“Penghargaan ini merupakan kesaksian atas kekuatan seorang perempuan, yang hanya dipersenjatai dengan iPhone, yang selamat dari pemboman selama hampir satu tahun,” kata produser eksekutif senior Jon Laurence, yang menerima penghargaan atas nama Owda saat dia masih terjebak di Gaza, dikutip dari Arab News, Minggu, 29 September 2024.
Diproduksi bersama AJ+, tayangan itu menceritakan pengalaman Owda ketika keluarganya melarikan diri dari pemboman rumah mereka di Beit Hanoun, Jalur Gaza. Seiring pengumumannya sebagai salah satu nominator, kelompok pro Israel bergerilya menyerangnya dengan tudingan bahwa Owda berhubungan dengan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), sebuah organisasi teroris yang ditetapkan AS.
Tudingan datang dari lembaga nirlaba Yahudi Creative Community for Peace yang menyertakan dokumen sebagai “bukti.” Mereka melobi National Academy of Television Arts dan Sciences (NATAS) selaku penyelenggara Emmy Awards agar membatalkan pencalonan Bisan Owda dari ajang bergengsi tersebut.
Dokumentasi Krisis Kemanusiaan di Gaza
Kendati demikian, NATAS bergeming dengan keputusannya, menyatakan bahwa dokumentasi hubungan antara Owda dan PFLP terjadi “antara enam dan sembilan tahun yang lalu,” ketika jurnalis itu masih remaja. Pihaknya juga “tidak dapat menguatkan” klaim mengenai koneksi yang lebih baru dan tidak menemukan “bukti keterlibatan kontemporer atau aktif” dengan PFLP.
“Konten yang dikirimkan untuk pertimbangan penghargaan konsisten dengan peraturan kompetisi dan kebijakan NATAS. Karena itu, NATAS hingga saat ini tidak menemukan alasan untuk membatalkan penilaian editorial jurnalis independen yang mengulas materi tersebut,” kata kelompok tersebut.
Pembuat film berusia 25 tahun ini memperoleh ketenaran di media sosial setelah ia mulai mendokumentasikan kehidupan di Gaza sejak agresi militer Israel yang membabi buta. Dengan 4,7 juta pengikut di Instagram dan hampir 200 ribu pengikut di TikTok, Owda menghabiskan waktunya merekam krisis kemanusiaan di Gaza.
Laporannya menyoroti blokade terhadap pasokan penting, penyebaran penyakit, dan pemindahan paksa warga Palestina, termasuk pengalamannya sendiri. It’s Bisan from Gaza and I’m Still Alive juga memenangkan Penghargaan Peabody dalam kategori berita awal tahun ini.