Sementara murid-murid di Israel memulai tahun ajaran baru mereka dengan membawa tas ransel, buku, dan alat tulis baru pada Senin, 9 September 2024, anak-anak di Gaza menghadapi kenyataan yang sangat berbeda. Anak-anak di wilayah kantong Palestina itu berada dibayang-bayang kematian karena serangan militer Israel atau sekolah mereka hancur jadi puing-puing.
Tahun ini, Israel bersiap menyambut lebih dari 2,5 juta siswa di seluruh negeri. Menurut media Israel, dikutip dari TRT World, Rabu, 11 September 2024, jumlah tersebut mencakup 535 ribu siswa taman kanak-kanak, 514 ribu siswa sekolah menengah atas, 335 ribu siswa sekolah menengah pertama, dan 1.174.000 siswa sekolah dasar. Bagi negara berpenduduk sembilan juta jiwa, tenaga kerja pendidikan sangat besar, terdiri dari 236 ribu staf, 5.754 kepala sekolah, dan lebih dari 200 ribu guru.
Namun tidak ada pidato sambutan, pelukan penuh air mata dari orangtua di gerbang sekolah, seragam baru, atau tas sekolah untuk anak-anak Palestina di Gaza. Tahun ajaran sekolah mereka masih ditangguhkan karena serangan Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Lebih dari 10 ribu siswa di Gaza meninggal dunia dan 15 ribu lainnya terluka akibat serangan Israel, dengan 19 ribu siswa mengungsi, menurut Kementerian Pendidikan Palestina. Israel juga telah menewaskan sedikitnya 400 guru dan merusak 90 persen bangunan sekolah di Gaza.
Sekitar 58 ribu anak Palestina tidak dapat naik kelas, yang merupakan batu loncatan dalam perjalanan akademis mereka. Hampir 41 ribu warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan tersebut dan sekitar 95 ribu lainnya terluka.
Israel Merampas Masa Depan 1 Generasi Anak-Anak di Gaza
Bahaa dan Batool, siswa SMA berusia 17 tahun di Gaza, seperti 89 ribu siswa SMA lain di Palestina, telah mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk universitas, yang dikenal sebagai Tawjihi. Namun, genosida Israel mencegah Bahaa dan sekitar 39 ribu siswa lain di Gaza mengikuti ujian dan mengejar impian mereka.
“Sayangnya, setelah perang, yang kami lakukan hanyalah mencari air, mengumpulkan kayu untuk membuat api, dan memanggang roti,” kata Bahaa pada TRT World. Sejak Oktober 2023, sedikitnya 625 ribu anak di Gaza putus sekolah akibat perang.
“Saya berharap dapat masuk jurusan kedokteran gigi di Universitas Al-Azhar. Sekarang, saya berada di kamp pengungsian di Deir al Balah,” kata Batool Abualatta pada outlet tersebut. Serangan brutal terhadap infrastruktur pendidikan di Gaza menyebabkan kehancuran total dan merampas masa depan satu generasi, membuat mereka cacat, trauma, dan tidak memiliki akses untuk belajar.
Pada awal Mei 2024, penilaian berbasis satelit menemukan bahwa 85,8 persen sekolah di Gaza rusak sebagian atau seluruhnya akibat serangan Israel selama berbulan-bulan. Ini termasuk sekolah-sekolah yang dikelola PBB di wilayah tersebut.
Tahun ke-2 Anak-Anak Tidak Kembali ke Sekolah
“Bagi orang-orang seperti kami yang masih berlindung di sekolah saat tahun ajaran baru dimulai, ini akan jadi tahun kedua mereka (anak-anak) kehilangan (kesempatan melanjutkan pendidikan),” kata Mona Mohammed Abu Aida, seorang ibu dari seorang anak sekolah bernama Hamoud. “Ke mana kami bisa pergi? Ke mana orang-orang di sekolah-sekolah ini bisa pergi?”
Tidak berhenti di situ saja, karena di tengah gelombang polio yang jadi ancaman baru bagi anak-anak Gaza, ada para orangtua patah hati yang merasa tidak berdaya, tidak bisa melindungi anak-anak mereka. Seperti banyak orang di Gaza, Eid al-Attar, seorang guru dari wilayah utara, kini menghabiskan hari-harinya dengan berusaha mencari cukup makanan dan air untuk menghidupi keluarganya.
Mengungsi delapan kali sejak serangan militer Israel pada 7 Oktober 2023, melansir Guardian, Rabu, 4 September 2024, pria berusia 42 tahun ini telah berusaha sekuat tenaga melindungi kelima anaknya. Kini, wilayah Palestina tersebut menghadapi bahaya baru: penyakit yang sangat menular dan berpotensi mematikan, polio.
“Kami tidak dapat melindungi anak-anak kami. Kami terancam kematian setiap saat karena pemboman dan ketidakamanan yang terus-menerus. Saya juga tidak dapat melindungi mereka dari penyakit,” katanya di Deir al-Balah pada Minggu, 1 September 2024, saat kampanye vaksinasi yang dipimpin PBB sedang berlangsung.
Vaksin Polio di Gaza
Al-Attar menyambung, “Kami tinggal di tenda, yang tidak melindungi kami dari apapun, tidak ada obat-obatan, sampah berserakan di mana-mana, dan jalanan dipenuhi air limbah.” Serial pengeboman Israel di Gaza telah menghancurkan sistem layanan kesehatan di wilayah tersebut, dengan 31 dari 36 rumah sakit rusak atau hancur, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sekitar 90 persen dari 2,3 juta orang yang tinggal di Jalur Gaza telah mengungsi dari rumah mereka, dengan mayoritas tinggal di kamp-kamp darurat yang sangat padat dan tidak bersih. Hepatitis, pneumonia, dan penyakit diare seperti disentri, serta kudis, kutu, dan ruam sudah merajalela, kata WHO.
Jumlah kematian yang disebabkan penyakit tercatat lebih dari 40 ribu korban, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah kantong Palestina. Namun, salah satu ketakutan terburuk para pekerja perawatan kesehatan terbukti akhir Agustus 2024 ketika Gaza mencatat kasus polio tipe 2 pertamanya dalam seperempat abad.
Upaya vaksinasi yang dipimpin PBB dan otoritas kesehatan setempat telah berlangsung untuk mencegah munculnya kembali polio di antara generasi baru. Setidaknya 90 persen dari 640 ribu anak di bawah usia 10 tahun di Gaza harus divaksinasi dengan dua tetes vaksin oral dalam dua putaran, dengan jarak empat minggu, untuk mencegah penyakit tersebut menyebar. Ini sesuatu yang sangat sulit di zona perang aktif, di mana kondisi dapat berubah dengan cepat.