Dahulu saat musim panas tahun 2023, Lana Haroun merupakan salah satu siswa terbaik di Gaza yang lulus ujian tawjihi, ujian sertifikat sekolah menengah Palestina. Ia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa penerjemahan bahasa Inggris di Universitas Al-Azhar yang bergengsi di Gaza.
“Saya bekerja sangat keras dan mencapai apa yang saya impikan. Saya mendapat peringkat teratas di Palestina. Saya sangat bangga,” kata Haroun kepada DW, dalam pesan suara dari rumahnya di Gaza, dikutip Senin (23/9/1024).
Namun kemudian perang pecah di Gaza pada 7 Oktober 2023. Harapan dan impian Haroun, seperti halnya ribuan anak muda di Gaza, hancur.
Selama 11 bulan terakhir, dia dan keluarganya mengungsi dari rumah mereka di Gaza tengah ke Rafah, di tengah sengitnya pertempuran, dan kembali ke daerah pusat Gaza.
“Fakultas penerjemahan hancur menjadi puing-puing dan begitu pula impian saya,” katanya.
Nilai tertinggi Haroun di sekolah menengah berarti dia mungkin akan bisa belajar di luar negeri, jika dia bisa meninggalkan Gaza. Tapi impiannya sirna sejak perang berkecamuk.
Israel dan Mesir yang sebelum pecahnya perang telah secara ketat mengontrol pergerakan masuk dan keluar dari wilayah yang diperintah Hamas selama 17 tahun, kian ketat dalam penjagaan tersebut.
“Saya pilih belajar di universitas lokal supaya tetap dekat dengan keluarga. Bagi saya, rasa aman dan stabilitas sangat penting untuk bisa sukses,” kata Haroun. “Rasa aman yang saya bicarakan telah hancur total.”
93 Persen Sekolah di Gaza Alami Beberapa Tingkat Kerusakan
Kehancuran tersebut membawa konsekuensi yang mengerikan bagi kaum muda di wilayah tersebut dan masa depan mereka, terutama dalam masyarakat yang menganggap pendidikan sangat penting. Pendidikan memberi kesempatan kepada siswa untuk meninggalkan Gaza dengan beasiswa.
Hampir 40% penduduk Gaza berusia 14 tahun atau lebih muda, dan usia rata-rata penduduk pada tahun 2020 adalah 18 tahun, menjadikan Gaza salah satu populasi termuda di dunia.
Pada awal September, tahun ajaran resmi dimulai di beberapa negara di kawasan tersebut. Namun tidak demikian keadaannya di Gaza.
Menurut UNICEF, setidaknya 45.000 anak berusia 6 tahun tidak akan mulai masuk sekolah dalam waktu dekat. Sekitar 625.000 anak muda yang terdaftar di sekolah akan kehilangan kelas untuk tahun ajaran berikutnya, selama perang terus berlanjut.
Citra satelit dan analisis oleh Global Education Cluster, sebuah kelompok penelitian organisasi bantuan yang dipimpin bersama oleh UNICEF dan badan amal Inggris Save the Children, telah menunjukkan nyaris 93% sekolah di Gaza mengalami beberapa tingkat kerusakan. Sekitar 84% sekolah akan memerlukan rekonstruksi penuh atau pekerjaan rehabilitasi besar sebelum kelas dapat dilanjutkan di sana.
Serangan Demi Serangan Israel ke Sekolaj di Gaza
Pada bulan Juli saja, tercatat 21 serangan terhadap sekolah-sekolah UNRWA yang berfungsi sebagai tempat penampungan di seluruh Jalur Gaza. Setidaknya 70% sekolah yang dikelola UNRWA yang sebagian besar digunakan sebagai tempat penampungan, telah terkena dampak selama perang, badan tersebut melaporkan pada bulan September.
Israel berulang kali menuding kelompok Hamas dan kelompok militan lainnya berlindung di balik fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah sakit untuk tujuan militer. Sementara Hamas yang memerintah Gaza telah sering membantah tudingan ini.
Menurut data yang dikumpulkan antara 23 Oktober 2023 dan Juli 2024 oleh Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Palestina di Ramallah, sedikitnya 20 kampus universitas rusak parah, dan lebih dari 31 gedung universitas hancur.
Beberapa kampus, seperti Universitas Al-Azhar di Kota Gaza, tempat Lana Haroun seharusnya berkuliah, tampaknya digunakan sementara oleh militer Israel, seperti yang terlihat pada video media sosial yang diunggah oleh tentara Israel.
Para kritikus menuduh Israel sengaja menargetkan lembaga pendidikan. “Mungkin masuk akal untuk bertanya apakah ada upaya yang disengaja untuk menghancurkan sistem pendidikan Palestina secara menyeluruh, tindakan yang dikenal sebagai ‘skolastisida’,” kata sekelompok pakar pendidikan PBB dalam sebuah pernyataan pada bulan April.
Mereka menambahkan, serangan itu menyajikan pola kekerasan sistematis yang ditujukan untuk menghancurkan fondasi masyarakat Palestina.
Serangan balasan Israel terhadap Gaza telah menewaskan lebih dari 41.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Serangan ini dipicu oleh serangan pada Oktober 2023 oleh Hamas dan kelompok militan lainnya yang menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan 250 orang disandera. Hamas ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Jerman, AS, Uni Eropa, dan beberapa negara lain.
Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial di Tengah Perang
Di tengah trauma perang, para ahli mengatakan sebagian besar pemuda Gaza akan membutuhkan dukungan kesehatan mental dan psikososial selama bertahun-tahun mendatang, bersama dengan dukungan pendidikan.
Sejumlah lembaga bantuan dan inisiatif swasta telah menyiapkan program informal untuk membantu anak-anak sekolah. Bagi mahasiswa, tantangan saat ini tidak kalah berat.
Pada awal musim panas, beberapa universitas di Tepi Barat yang diduduki Israel mulai menawarkan kelas virtual agar sebagian mahasiswa di Gaza dapat melanjutkan studi mereka.
Andira Abdallah, dosen di Departemen Bahasa dan Penerjemahan Universitas Birzeit, menjadi sukarelawan dan membantu dua mahasiswa di Gaza mendalami tata bahasa Inggris dan membaca teks pendek. Ia melakukan itu dari ruang tamunya di Ramallah.
“Satu setengah jam ini mungkin satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk membahas hal lain selain bertahan hidup,” kata Abdallah kepada DW. “Kami hanya membahas tema akademis. Saya tahu saya tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu mereka, atau meringankan penderitaan mereka.”
Banyak siswa telah bolak-balik mengungsi bersama keluarga dan teman-teman yang tersebar di seluruh Gaza. Beberapa telah kehilangan orang yang mereka cintai, dan banyak yang tidak punya rumah untuk kembali.
Perang telah membuat sedikitnya 1,9 juta orang Palestina jadi pengungsi, menurut PBB. Angka ini nyaris mencapai keseluruhan populasi yang berjumlah 2,3 juta orang.
Kadang-kadang, siswa tidak dapat mengakses internet karena internet di Gaza terputus, meskipun pelajarannya hanya berupa audio. Fatma Asfour, salah satu siswa, berbicara dengan DW saat dia berada di antara tenda-tenda di Khan Younis. Asfour mengatakan kesulitan mencari tempat yang terhubung ke internet dan untuk mengisi ulang baterai ponselnya.
“Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang sedang kami alami. Namun, sangat penting bagi saya untuk mengikuti pelajaran ini,” kata Fatma Asfour. Saat perang berakhir, dia berharap dapat berkarier sebagai penata rias atau di bidang mode. “Kita cuma harus percaya bahwa kita akan selamat.”
Abdallah Baraka, mahasiswa ilmu komputer dari Deir al-Balah di Gaza, mengatakan sering kali sulit untuk fokus. Saya harus menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari untuk mencari air dan makanan. Ada juga masalah keselamatan, katanya.
“Satu setengah jam ini mungkin satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk membahas hal lain selain bertahan hidup,” kata Abdallah kepada DW. “Kami hanya membahas tema akademis. Saya tahu saya tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu mereka, atau meringankan penderitaan mereka.”
Meskipun dunia di sekitarnya suram, Baraka tetap ingin menyelesaikan studinya. Saya hanya ingin mendapatkan pekerjaan, lebih baik lagi jika bekerja di bidang AI. Saya ingin hidup dan membangun karier.